Inisiasi Paradance
Paradance platform dimulai sejak 2015 di Yogyakarta, Indonesia dalam format festival kecil, Paradance Festival Mini Gerak dan Tari. Diinisiasi oleh pasangan suami dan istri Ahmad Jalidu dan Nia Agustina. Paradance pada awalnya digagas demi menciptakan sendiri ruang presentasi karya-karya kecil atau “work in progress” yang ketika itu merupakan kebutuhan Nia bersama kelompoknya. Kesulitan menemukan ruang presentasi karya ini membawa mereka berdua melihat sekeliling dan menemukan kondisi dimana potensi karya tari di Jogja tidak sebanding dengan ruang/event yang bisa memuatnya. Dari sisi akademik, Yogyakarta memiliki satu Sekolah Menengah yang membuka jurusan tari, dan dua perguruan tinggi dengan program studi tari dan Pendidikan seni tari. Ini belum ditambah dengan puluhan sanggar-sanggar dan kelompok/kolektif. Akan tetapi ruang untuk memamerkan/mementaskan karya sangatlah minim, terutama untuk karya-karya yang tergolong “pemula”.
Memang, sudah ada beberapa festival di Yogyakarta yang konsisten memberi ruang bagi koreografer, termasuk koreografer muda pada masa itu, seperti; Asia Tri, Bedog Art Festival, Jogja International Street Performance (JISP), Jogja International Performing Art Festival (JIPA), dll. Namun dengan arus peningkatan jumlah siswa, mahasiswa, dan lulusan tari yang begitu cepat, ruang yang kebanyakan dibuka setahun sekali tersebut tidak selalu cukup, ditambah dengan proses kuratorial (organik maupun sistematis) di dalam festival-festival tersebut yang membuat koreografer muda tidak dapat dengan mudah mengakses ruang tersebut. Atas dasar itu, Nia Agustina dan Ahmad Jalidu mencoba merangkul kawan-kawan senasib lainnya, untuk bersama-sama mempresentasikan karya-karya kecilnya dalam satu ajang yang diselenggarakan secara mandiri. Jadilah sebuah pementasan parade 6 karya koreografer muda yang diberi tajuk PARADANCE #1. Acara bersejarah ini terselenggara pada 30 Maret 2015 di Balai Budaya Samirono, Catur Tunggal, Depok, Sleman.
Sejak edisi satu, Paradance Festival Mini Gerak dan Tari kemudian berlanjut dilaksanakan 2 bulan sekali, meski sesekali diliburkan terutama ketika melewati masa bulan puasa, sehingga dalam setahun diadakan kurang lebih 4-5 kali. Setiap edisi festival, ada 5-7 karya koreografer muda yang dipresentasikan. Tahun 2015-2016 Paradance Festival bekerjasama dengan Balai Budaya Samirono, Sleman, D.I. Yogyakarta, Indonesia sebagai tempat kegiatan festival, namun sejak 2016 berpindah ke Balai Budaya Minomartani, Sleman, D.I. Yogyakarta, Indonesia. Keduanya merupakan ruang seni budaya yang dikelola olah masyarakat lokal masing-masing wilayah.
Di awal mulainya, semua penampil adalah koreografer/penari di Yogyakarta, namun karena peminatnya semakin banyak, tidak hanya dari Yogyakarta saja, namun juga bagian Indonesia yang lain, maka pada tahun 2017 Paradance Mini Festival Gerak dan Tari menerapkan skema open call. Hal ini diharapkan dapat menjangkau lebih banyak koreografer dari berbagai wilayah di Indonesia.
Merintis Ekosistem Paradance
Di tahun yang sama, 2017, Paradance Festival Mini Gerak dan Tari mengevaluasi programnya selama 2 tahun belakangan. Ternyata kebutuhan koreografer berkembang, tidak hanya soal ruang presentasi, namun juga bagaimana mereka meningkatkan kualitas proses berkaryanya dan juga bagaimana mereka sebagai koreografer harus siap dengan pertemuan-pertemuan antar negara. Maka, 2 program tambahan yang digagas adalah Klub Baca Paradancer dan Klub Bahasa Inggris Paradancer. Paradancer di sini mengacu pada sapaan bagi para penari (para dancer). Mulai dari situ maka Paradance Festival Mini Gerak dan Tari berubah menjadi Paradance Festival dan Klub Belajar, karena program yang dikembangkan tidak hanya festival saja namun juga klub belajar bagi koreografer muda Indonesia.
Tahun 2018, Paradance Festival dan Klub Belajar kembali mengevaluasi diri dengan mempertanyakan kembali klub belajar yang ditautkan pada namanya. Maka pada tahun tersebut mulailah Paradance Festival dan Klub Belajar membuka kelas-kelas workshop baik dengan fasilitator dalam negeri seperti Whani Dharmawan (bekerjasama dengan WhaniDProject, 2018), Benny Krisnawardi (digandeng oleh Lingkaran Koreografi sebagai partner, 2019), maupun luar negeri seperti Pat Toh Ling dari Singapura (bekerjasama dengan Mila Art Dance School, 2018), dan Stefano Fardelli dari Italia (bekerjasama dengan Mila Art Dance School, 2018). Selain itu, festival juga diperluas dengan memfasilitasi koreografer profesional dari luar negeri untuk tampil dalam tajuk Paradance Special Guest antara lain oleh Stefano Fardelli (Italia), Pat Toh Ling (Singapura), Shivamanohari School of Performing Arts (Canada).
Di akhir 2018, Paradance Festival dan Klub Belajar juga menggagas Persami Paradance, kegiatan menginap satu malam bersama, dengan fokus membicarakan sejarah tari kontemporer dunia dan Indonesia, dengan tiga fasilitator tamu, Helly Minarti, Renee Sariwulan, dan Muhammad Abe. Sembari berjalan, di tahun 2019 awal terbitlah buku “Daya Tari: Jejak, Mimpi dan Daya Hidup Koreografer Muda” yang merupakan kompilasi tulisan-tulisan para koreografer muda yang sudah pernah mencicipi Paradance.
Paradance Platform
Melihat berkembangnya aktivitas dan program, maka nama Paradance Festival dan Klub Belajar kemudian tidak begitu relevan. Sehingga pada tahun 2019, kami mengubah format Paradance Festival dan Klub Belajar menjadi Paradance Platform. Ini dirasa lebih tepat untuk menavigasi aktivitas dan program yang sedang dan akan dijalankan kemudian.
Menilik sejarah sejak awal berdirinya, Paradance Platform memiliki tujuan utama sebagai platform untuk merawat koreografer muda. Oleh karenanya, setiap program yang diusung akan selalu berlandaskan kebutuhan koreografer muda dan kapasitas Paradance Platform pada masa itu. Oleh karenanya Paradance Platform mencoba membangun komunikasi yang intens dan intim dengan setiap koreografer yang pernah terlibat di dalamnya untuk dapat memetakan kebutuhan tersebut.
Klik : https://saweria.co/Adisukmainisiatif
atau SCAN QR CODE Berikut ini :